Ballad of Ten Thousand Gu – Chapter Prologue

Hari itu, dia datang mencariku.

Pada waktu itu, udara begitu lembab akibat hujan yang berderai, dan aku sedang memainkan pipa di dalam rumah bambu. Melodinya begitu sedih dan tragis, mengejutkan semut-semut di sekitar hingga berhamburan. Tanpa memedulikan nada-nada mengerikan yang tengah kugubah, wajah lelaki itu merupakan gambaran akan ketenangan saat dia melangkah mendekatiku.

Tanpa memedulikan nada-nada mengerikan yang tengah kugubah, wajah lelaki itu merupakan gambaran akan ketenangan saat dia melangkah mendekatiku

Gambar pipa

Rambutnya sehitam arang, jubahnya seputih salju. Sosok seekor ular semerah darah tergambar di tengah dahinya. Dia menatapku, sorot matanya sejernih air di kolam yang tenang, tanpa adanya sedikitpun emosi.

Mengikuti di belakangnya adalah seorang wanita muda, wajahnya tersembunyi di balik topi lebar yang dikenakannya. Selembar kain linen putih yang menjuntai hingga ke lutut tergantung di sekeliling topi tersebut, menyembunyikan keseluruhan sosoknya dari pandangan. Tanpa sadar, aku tak bisa menahan diri dari meliriknya, berpikir pada diri sendiri bahwa dia pastilah seorang wanita yang menakjubkan di balik selubungnya.

“Aku datang, untuk meminta bantuanmu mencari seseorang.” Akhirnya lelaki itu bicara. Suaranya dingin, sama seperti orangnya.

Kulirik dia sembari melanjutkan permainan pipa-ku, kepalaku tetap menunduk. “Sang Guru Takdir tak menerima permohonan untuk mencari orang hilang. Silakan pergi. Saya takkan mengantar.”

“Dia pernah datang mencarimu tiga tahun yang lalu,” lelaki itu melanjutkan, sorot matanya menusuk.

Jemariku yang tengah berkutat dengan senar-senar pipa tersentak. Akhirnya, kuangkat kepala dan bertanya, “Siapa yang kau cari?”

“Muridku,” kata lelaki itu. Tanda pertama dari emosi terdengar di suaranya, seolah dia tak lagi menekan luapan perasaan yang menyiksa hatinya. “Su Bai.”

***

Aku ingat wanita bernama Su Bai ini, karena dia telah meninggalkan sebuah kesan yang mendalam dalam batinku.

Dia adalah pelanggan pertamaku, dan sampai sekarang merupakan satu-satunya orang yang permintaannya tak pernah mampu kupenuhi.

Aku pertama bertemu dengannya tiga tahun lalu. Waktu itu, negara Da Yue dan Zhao Selatan tengah berperang, dan aku adalah seorang murid yang sedang mengikuti guruku, sang Guru Takdir yang paling terkenal; di medan perang. Saat itu, karena aku telah memakai bebatuan untuk menentukan arah angin, dalam amarahnya guru mengusirku dari perguruan. Hasilnya, saat malam tiba, aku tak punya pilihan selain membakar ubi jalar jauh dari barak kamp agar tidak mati kelaparan.

Saat itulah Su Bai pertama kali muncul.

Sesaat setelah aku selesai membakar ubiku, tiba-tiba dia mendarat dari pohon di atasku.

Dia berlutut, mengulurkan satu tangan kurusnya ke arahku dan berkata, “Beri aku satu.”

Aku adalah orang yang baik dan murah hati. Setelah mengamati seekor piton dengan lebar dua kali pria dewasa dari belakangnya, kuserahkan sebuah ubi kepadanya. Sesudahnya, kami berdua duduk berhadapan sambil memakan ubi tersebut tanpa suara.

Saat kami selesai makan, dia menyerahkan kepadaku sebuah tabung bambu berisi air, sebelum bertanya penasaran, “Kudengar kau adalah murid sang Guru Takdir. Apakah kau juga akan menjadi Guru Takdir?”

“Apa maumu?” aku bertanya-tanya.

Dia lalu merundukkan kepalanya dan memungut sebatang cabang pohon, memainkan api unggun dengannya. Sesaat kemudian, dia tersenyum, matanya melengkung hingga membentuk sepasang bulan sabit. “Aku ingin bermimpi, setelah aku mati.”

“Apa yang terjadi?” Dengan penasaran aku beringsut mendekatinya.

Dia tak menyadari gerakanku dan terus menusuk-nusuk api unggun dengan cabang di tangannya.

Pada akhirnya dia berkata, “Aku adalah Ahli Gu, tapi aku juga orang suku Han*. Namaku Su Bai.”

——————————

* Suku Han adalah etnis mayoritas China dan biasanya menempati wilayah tengah / sebagian besar daratan China / Zhongyuan. Sementara itu, keahlian membuat Gu biasanya dikuasai oleh etnis-etnis minoritas yang tinggal di wilayah China bagian Selatan.

Sumber: joseime