Ballad of Ten Thousand Gu – Chapter 1

Su Bai – ini merupakan nama yang dikenal oleh semua orang di Da Yue.

Bukan karena Su Bai merupakan orang berbakat maupun berkeahlian luar biasa, tetapi karena dia merupakan satu-satunya keturunan yang bertahan hidup dari Keluarga Su yang legendaris.Sepuluh tahun yang lalu, saat kota Luoyang ditakhlukkan, Keluarga Su yang telah menikmati kemewahan dan ketenaran selama ratusan tahun runtuh dalam semalam. Kaum prianya dibunuh, dikubur di luar tembok Luoyang, sementara kaum wanitanya menggantung diri mereka sendiri di dalam wisma keluarga Su.

Satu-satunya yang bertahan hidup dari pembantaian ini adalah si anak perempuan kecil, Su Bai, yang telah lenyap tanpa jejak. Selama lebih dari sepuluh tahun, para bawahan setia Keluarga Su mencari ke berbagai tempat untuk mencari gadis kecil ini. Bahkan sampai sekarang, tembok-tembok Luoyang masih saja ditempeli dengan posternya. Dengan segala masalah yang telah menyebabkan badai di seantero kota, sekarang ini, tak seorang pun di Da Yue yang tidak mengenal nama Su Bai.

Sepuluh tahun kemudian, dengan nada acuh tak acuh, wanita yang tiba-tiba muncul di hadapanku ini berkata kalau namanya adalah Su Bai.

Sebagai warga negara biasa yang tak punya keistimewaan apa-apa, begitu aku mendengar namanya itu, aku pun terpana hingga tersedak ubi….

Dia menatap kekagetan yang terpampang di wajahku dan tertawa tanpa suara, sebelum kemudian melanjutkan, “Waktu itu, aku berada di Zhao Selatan, jadi aku tak tahu kalau mereka mencariku. Belakangan, saat aku akhirnya tahu, sudah terlambat bagiku untuk kembali….”

Dia tak bisa lagi kembali.

Karena di Zhao Selatan, dia telah jatuh cinta dengan seorang lelaki.

Lelaki itu adalah orang yang telah menyelamatkan dirinya yang waktu itu baru berusia dua belas tahun dari reruntuhan kota Luoyang, sebelum kemudian membawanya ke Zhao Selatan. Dia adalah Ahli Gu dari Zhao Selatan, seorang lelaki yang keberadaannya begitu dipuja bagaikan dewa – Yue Chi.

Mungkin bagi siapapun yang mendengar nama ini akan membayangkan bahwa nama tersebut hanya bisa dimiliki oleh seorang pria yang tak punya perasaan, egois, dan juga kejam.

Namun bagi Su Bai, dia bukan orang semacam itu.

Yue Chi mengajarkan kepadanya seni membuat gu, sejenis racun yang berasal dari bisa serangga.

Yue Chi mengajarkan kepadanya cara untuk menjadi kuat.

Saat dia sakit, Yue Chi merebuskan obat untuknya.

Saat dia menangis, Yue Chi menyeka air matanya hingga kering.

Sekali, Yue Chi pernah berkata kepada Su Bai yang berusia dua belas tahun, “Su Bai, aku akan memberikanmu rumah.”

Maka Su Bai percaya dengan sepenuh hatinya bahwa lelaki itu akan memberikannya rumah. Lalu dia mengikuti Yue Chi dengan penuh pengabdian, dan seiring dengan hari-hari yang berlalu, saat minggu berubah menjadi bulan dan bulan menjadi tahun, Su Bai pun jatuh cinta.

“Aku selalu mengagungkannya.” Su Bai menatap api unggun dengan sorot menerawang ketika dia melanjutkan, “setiap hati, tanpa kecuali, aku mempelajari semua yang perlu diketahui tentang berbagai macam serangga berbisa, dan menghapal semua teknik dalam mempersiapkan racun gu. Saat yang lain beristirahat di malam hari, aku terus membaca buku-bukuku di bawah sinar lentera; saat yang lain bangun keesokan paginya, aku sudah jauh mendaki pegunungan demi mencari serangga-serangga berbisa.”

Dia bahkan bertanya kepada yang lain tentang apa yang disukai dan tidak disukai oleh Yue Chi, dengan hati-hati mengamati semua kebiasaannya.

Dia tahu kalau Yue Chi tak suka saat orang berbicara berputar-putar dan berkata ‘karena… oleh sebab itu aku…’, maka dia tak pernah menjelaskan ataupun mencari-cari alasan setiap kali dirinya membuat kesalahan.

Dia tahu kalau Yue Chi tak suka dengan suara yang terlalu ribut, jadi dia tak pernah mengenakan perhiasan apapun juga menghiasi dirinya dengan beragam ornamen.

Dia tahu kalau Yue Chi tak suka debu dan kotoran di kamarnya, jadi setiap saat sebelum dia mengunjungi Yue Chi, dia akan mandi dan mengganti pakaian terlebih dahulu, sebelum melangkah bertelanjang kaki ke tempatnya.

Sepuluh tahun penuh dengan kesungguhan dan kehati-hatian.

Pada akhirnya, Yue Chi berkata kepadanya, “Su Bai, kau lengah oleh pikiran-pikiran yang tidak penting. Seseorang yang memiliki pikiran semacam itu takkan pernah menjadi Ahli Gu yang baik.”

“Belakangan, Yue Chi menerima murid lain. Namanya Ah Lai. Dia adalah Tuan Putri dari Zhao Selatan, dan terberkahi dengan suara yang indah. Tahukah kau, tiap kali dia bernyanyi, Guru akan tersenyum. Senyumnya begitu hangat, tapi dia tak pernah tersenyum kepadaku. Aku sudah berusaha begitu keras, meresikokan hidupku kali demi kali untuk membuat racun gu yang sempurna untuk membuatnya senang, tetapi Ah Lai tak pernah perlu melakukan apapun selain menyanyikan beberapa lagu dan mengumpulkan bebungaan, dan sudah bisa membuatnya tertawa.”

Ketika Su Bai mengenang masa lalu, matanya mulai berair. Aku tetap diam tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dan hanya bisa berpura-pura tak tergerak dengan terus menenun benang takdir merahku.

Su Bai mengangkat lengan baju untuk menyeka air matanya, terlihat seperti anak kecil yang merana, sebelum kemudian melanjutkan, “Kemudian, Guru berkata padaku bahwa dia tak lagi ada gunanya bagiku. Dia ingin aku melanjutkan pelatihanku untuk menjadi Ahli Gu yang baik.”

Malam itu, salju turun. Bulan menggantung tinggi di angkasa, kilaunya berpijar di kegelapan tak berbatas. Su Bai berlutut di depan kamar sang guru, menangis dan memohon kepadanya. Namun lelaki itu tetap jauh dan dingin, seolah Su Bai tak lebih dari sekedar arwah.

Dia menangis hingga suaranya serak, hingga, pada akhirnya, Ah Lai lah yang datang dan membantunya bangkit dari tanah.

Ah Lai berkata kepadanya, “Su Bai, tahukah kamu, seseorang hanya ada karena dia ada kegunaannya. Selama kau berguna bagi Zhao Selatan, Guru takkan pernah mengabaikanmu.”

Diam. Lalu Ah Lai melanjutkan, “Su Bai, bergabunglah dalam perang dan jadilah orang yang berguna. Zhao Selatan akan menjadi negaramu. Kami akan menjadi rumahmu.”

“Jadi kemudian kau ikut?” Aku terkejut.

Su Bai tak menjawab. Lama kemudian, dia mengangguk, mengangkat kepalanya untuk menatap bintang-bintang yang berkedip di langit malam. “Terkadang, kekeraskepalaan seseorang akan menjadi kelemahan. Tiap kali perang berakhir, aku akan tersiksa oleh mimpi buruk. Tapi tiap kali aku membawakan laporan militer terkini ke istana dan menatapnya, aku akan merasa bahwa semua itu pantas. Namun sebenarnya aku tak pernah tahu berapa lama aku bisa bertahan.”

Su Bai mengangkat tangannya ke dada, dan perlahan berkata, “Aku bahkan tak berani memakai namaku. Tiap kali aku melihat kata ‘Su’, rasanya seperti aku tengah berjalan menuju kehancuran, tergelincir hingga di luar batas penebusan. Tiap kali aku melihat dia tersenyum kepada Ah Lai, keputus asaan dalam hatiku membawaku pada kegilaan.”

“Lalu, mimpi apa yang kau harapkan?” Kuangkat benang merah yang terjalin di antara jemariku, “Aku sudah memakai ingatan-ingatan yang telah kau ungkapkan padaku untuk menenenun mimpi bagimu. Setelah kau mati, aku akan menarikmu ke dalam ilusi ini. Apa yang ingin kau lakukan di dalam mimpi ini?”

“Aku ingin berjumpa dengannya.” Dia tersenyum lemah dan menutupi matanya dengan kedua tangan. Akhirnya, kulihat tetes-tetes besar air mata menggelincir di lengkung wajahnya, “Dan kemudian, bisa bersama dengan dia selamanya.” 1

***

Itulah mimpinya.

Aku sudah berjanji kepadanya, dan saat fajar menyingsing keesokan paginya, dia sudah pergi bersama dengan ubi terakhirku. Kemudian aku pun kembali ke kamp militer Da Yue dengan berkecil hati, berlutut di depan kamar guru dan menangis mengakui kesalahanku.

Guru tak mengeraskan hati untuk mengusirku. Setelah amarahnya hilang, sekali lagi dia membawaku ke medan perang, di mana dia melanjutkan untuk mengajariku.

Waktu itu, pasukan utama Da Yue dan Zhao Selatan bertarung dalam jarak dekat, membuat orang sulit untuk membedakan dua kekuatan tersebut. Aku berdiri di puncak menara kota, dan menatap dengan takjub seekor piton putih raksasa di antara serdadu garis depan pasukan musuh.

Berdiri di atas kepala piton tersebut adalah seorang wanita muda berjubah hitam, rambutnya terurai ditiup angin. Dengan satu sentakan dari pergelangan tangannya yang langsing, serangga-serangga gu yang tak terhitung banyaknya merayap keluar dari lengan bajunya dan berpencaran ke arah pasukan Da Yue.

Aku tak mampu melihat wanita itu dengan jelas. Hanya saja, aku melihat para prajurit menyerbu ke arahnya bagai ombak besar di laut berbadai. Meski begitu, pasukan Zhao Selatan yang berada di belakangnya tak bergerak sedikitpun dan hanya menatap dingin ketika kerumunan prajurit Da Yue perlahan merubungnya.

Kemudian, aku melihat seorang Jenderal Muda yang berdiri di sebelahku tiba-tiba mementangkan busurnya dan menyeru, “Su Bai!”

Wanita muda itu menengadah, dan dalam sepersekian detik keraguan itu hujan anak panah menembus langit sewarna darah untuk menghujam kedua bahunya.

Jenderal Muda itu tertawa, suaranya menggelegar. Aku menoleh untuk menatapnya, hanya untuk mendapati bahwa dia telah tertawa hingga air mata bercucuran dari matanya. Dia berdiri di atas menara kota, suaranya menuntut ketika berkata, “Su Bai, bagaimana bisa kau menghadapi seluruh keluargamu, para prajurit yang telah gugur; sebuah keluarga yang telah setia kepada Da Yue selama ratusan tahun?!”

“Su Bai, tahukah kau – di luar kota Luoyang di mana tulang belulang ayah dan saudaramu dikubur, bunga-bunga yang bermekaran telah setinggi pinggang kami!”

Bahkan saat Jenderal Muda itu mengucapkan perkataan tersebut, serangga-serangga gu yang tak terhitung jumlahnya telah merayap ke arahnya. Pada akhirnya, sang Jenderal Muda itu tak lagi mampu menahan rasa sakit yang begitu menyiksa. Dalam sekali tolakan, dia pun melompat dari puncak menara.

Guru bergegas menarikku mundur, melindungiku dari segala kekacauan ini. Dari penglihatanku yang sangat terbatas, kulihat Su Bai dengan ahli mengarahkan pitonnya saat dengan cemas dia mencari jalan menuju dasar menara, sebelum kemudian membawa tubuh Jenderal Muda itu ke dalam pelukannya.

Aku tak tahu apa yang telah diucapkan Jenderal Muda itu kepadanya. Aku hanya melihat Su Bai menggunakan lengan bajunya sendiri untuk menyeka darah segar yang mengucur dari mulut lelaki itu, lagi dan lagi. Pekikannya yang penuh kedukaan menembus ke dalam medan perang penuh darah.

Belum pernah aku melihat seseorang menangis sehancur itu. Bahkan hingga hari ini, aku tak pernah bisa melupakan bayangan kedukaannya. Dengan segera Guru menyadari bahwa aku berada dalam kondisi syok, dan bergegas menarikku menjauh dari menara kota.

Di dalam medan peperangan Su Bai memeluk lelaki itu, menangis dengan begitu pilu.

Lama setelahnya, dari bisik-bisik yang beredar, aku mengetahui bahwa meski dia telah terluka parah, Su Bai pada akhirnya berhasil membantai membuka jalan dari pengepungan bersama dengan pitonnya.

Saat itu, para prajurit yang menghalanginya tak hanya dari pasukan Da Yue, karena para prajurit Zhao Selatan juga telah mengarahkan busur mereka kepadanya kala mereka menembakkan panah demi panah tanpa jeda ke arahnya.

Pada akhirnya, dengan tubuh penuh luka, dia menghilang tanpa jejak, menyingkirkan semua pengejar.

Satu tahun kemudian, akhirnya aku berhasil menyelesaikan pembelajaranku dan menjadi seorang Guru Takdir, di mana aku mulai memenuhi tanggung jawabku sesuai dengan perjanjian yang telah kubuat dengan Guru.

Aku dikelilingi lautan manusia, mereka datang menemuiku dengan permintaan tanpa henti.

Namun aku tak pernah berhasil menemukannya.

Jadi, meski aku terus menerima permintaan dari orang lain, aku mulai melakukan perjalanan ke selatan, hingga tiga tahun kemudian, akhirnya aku sampai di Zhao Selatan, sesuai dengan yang telah kujanjikan kepada orang itu.

Memang, perjalananku tidak sia-sia. Baru tiga hari aku sampai di sini, saat aku bertemu dengan Yue Chi.

Sumber: joseime